Jelang Pemilu 2024 Hoaks Politik Meningkat Tajam, Bisa Ganggu Demokrasi Indonesia

Minggu 04-02-2024,16:46 WIB
Editor : Andung

 

 

Mafindo Kritisi Fenomena Penggunaan Medsos untuk Sebar Hoaks

 

Jakarta,  Mojokerto.disway.id  - Selama tahun 2023 di Indonesia ditemukan 2.330 hoaks. Dari jumlah itu, 1.292,645 adalah hoaks terkait pemilu 2024.

 

Ketua Presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Septiaji Eko Nugroho, menyebutkan, jumlah hoaks politik yang ditemukan pada 2023 itu dua kali lipat dibanding pemilu 2019.

 

BACA JUGA:Identifikasi Hoax, MAFINDO Latih 100 Mahasiswa Univ Pesantren KH Abdul Khalim

 

‘’Pada pemilu 2019 hoaks politik yang kami temukan sebanyak 644. Jadi pemilu kali ini jumlah hoaksnya dua kali lpatnya,’’ katanya.

 

Dia juga mengatakan, hoaks politik pada 2023 ada pada angka tertinggi, mencapai 55,5%. ‘’Selain tertinggi, hoaks politik mendominasi topik hoaks pasca 2019,’’ tuturnya.

 

BACA JUGA:Jelang Pemilu 2024, Antusiasme Pemilih Pemula Tentukan Pilihannya

 

Sedangkan selama pandemi pada 2020-2022, angka hoaks politik sempat di bawah 33%. ‘’Pandemi mempengaruhi sebaran topik hoakas politik,’’ tambahnya.

 

Menurut Eko, tinggi dan masifnya hoaks politik mengganggu demokrasi di Indonesia, mengacaukan kejernihan informasi, dan dapat mengajak orang menolak hasil pemilu. Karenanya, upaya komprehensif perlu dilakukan untuk mencegah dan menangani hoaks untuk menjaga kedamaian Pemilu 2024.

 

BACA JUGA:MAFINDO Ingatkan Bahaya Hoaks Agama dan Politik

 

Terbanyak di Youtube

Platform Youtube menjadi tempat ditemukan hoaks terbanyak, sejumlah 44.6%. Diikuti Facebook (34.4%), Tiktok (9.3%), Twitter atau X (8%), Whatsapp (1.5%), dan Instagram (1.4%).

 

‘’Dominasi konten hoaks berupa video menjadi tantangan besar bagi ekosistem periksa fakta. Karena konten hoaks video cepat sekali viral,’’ paparnya.

 

Hal itu karena sering dibumbui dengan elemen yang emosional. ‘’Sedangkan upaya periksa fakta konten video membutuhkan proses yang lebih lama ketimbang foto atau teks,” jelasnya.

 

Menjelang pemungutan suara dalam Pemilu 2024, konten yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) pun sudah muncul. Seperi video  deepfake  pidato Presiden Jokowi dengan bahasa Mandarin, maupun rekaman suara Anies Baswedan dan Surya Paloh yang dibuat dengan AI.

 

BACA JUGA:Pemilu 2024, Gen Z Jadi Target Utama Perolehan Suara Parpol di Mojokerto

 

Sementara itu,  Ketua Komite Litbang Mafindo, Nuril Hidayah yang akrab disapa Vaya, menjelaskan, yang membedakan hoaks pada Pemilu 2024 dan Pemilu 2019 adalah dominasi konten video. ‘’Pada Pemilu 2019, hoaks kebanyakan berupa foto atau gambar,’’ katanya.

 

Dia mengakui hal ini menjadi tantangan pemeriksa fakta. Proses periksa fakta konten video lebih rumit dan lama, dan bisa mengaduk-aduk emosi. 

 

‘’Terlebih konten hoaks yang dibuat menggunakan AI, tidak mudah untuk bisa mendapatkan kesimpulan apakah itu hoaks atau bukan,’’ sahutnya.

 

Semua Kandidat Kena

Semua calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi sasaran utama hoaks politik. Hoaks tentang mereka ada yang bernada positif (melebih-lebihkan kandidat), sebagian bernada negatif (yang menyerang atau memfitnah kandidat). 

BACA JUGA:Gen Z di Mojokerto bakal Jadi Lumbung Suara Baru di Pemilu 2024

 

Anies Baswedan menjadi kandidat yang paling banyak disebut dalam narasi hoaks, sebanyak 206 bernada positif, dan 116 bernada negatif. Selanjutnya Ganjar Pranowo (63 positif, 73 negatif), Gibran Rakabuming Raka (12 positif, 74 negatif), Prabowo Subianto (28 positif, 66 negatif), Moh. Mahfud MD (44 positif, 5 negatif), dan Muhaimin Iskandar (17 positif, 5 negatif).

 

Septiaji mengatakan konten hoaks politik itu masih didominasi saling serang antarpendukung kandidat. Sedangkan tingkat polarisasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024 ini tidak setinggi dibanding pemilu 2019 dengam capres  head to head  Joko Widodo dan Prabowo Soebianto.

 

‘’Namun, jika pilpres masuk ke putaran kedua, perlu diwaspadai peningkatan hoaks dan ujaran kebencian yang menggunakan isu SARA,’’ ujar Eko.

 

BACA JUGA:KPU Jatim Mulai Distribusikan Pengganti Surat Suara Yang Rusak

 

Eko menyebut topik hoaks yang paling banyak ditemukan adalah dukungan/pengakuan kepada kandidat (33.1%). Diikuti isu korupsi (12.8%) dan penolakan terhadap kandidat (10.7%).

 

Sedangkan karakter atau gaya hidup negatif kandidat (7.3%). Isu kecurangan pemilu sebesar 5% dan isu SARA 3.9%.

 

‘’Isu kecurangan pemilu harus disikapi dengan sangat serius oleh penyelenggara pemilu. Karena isu ini yang diprediksi meningkat tajam setelah hari-H (14 Februari 2024), dan berpotensi membuat orang menolak hasil pemilu dan memantik keonaran,’’ tuturnya. 

 

Eko menyebutkan, pihaknya sudah menemukan beberapa konten hoaks yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu. Seperti hoaks mobilisasi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), hoaks sistem teknologi informasi (TI) KPU, dan isu keberpihakan penyelenggara pemilu.

 

Upaya menangani hoaks tidak cukup dengan melakukan  fact checking  atau pemeriksaan fakta. Dia memandang sangat penting upaya pencegahan dalam bentuk vaksinasi informasi atau prebunking. 

 

‘’Caranya dengan menyajikan konten yang bisa mengedukasi publik sehingga memiliki kekebalan atau imun kuat saat terpapar hoaks,’’ jelasnya.

 

Saat ini Mafindo bekerja sama dengan Bawaslu RI dan Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu 2024 yang terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil. Selain itu juga dengan Koalisi Cekfakta.com dengan 25 media online dan Koalisi DAMAI dengan 11 organisasi, berkolaborasi menghadang hoaks Pemilu 2024.

 

Kolaborasi itu berupa monitoring, pelaporan, dan penanganan hoaks yang sedang dilakukan. Selain itu, koalisi juga memproduksi konten prebunking atau pencegahan hoaks pemilu terutama dalam bentuk video.

 

‘’Kolaborasi ini perlu terus diintensifkan dengan melibatkan platform digital, penyelenggara pemilu, pemerintah, dan warganet,’’ pungkasnya.  (*)

Kategori :