Jakarta, diswaymojokerto.id - Angka perkawinan anak di Indonesia terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, pada 2022 terdapat 8.804 pasangan di bawah usia 19 tahun yang menikah.
Jumlah ini turun menjadi 5.489 pasangan pada 2023, lalu kembali menurun menjadi 4.150 pasangan pada 2024.
Dilansir dari website Kemenag RI, data yang tercatat di Kemenag RI disebutkan dalam beberapa tahun terakhir terus menggenjot program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS).
Program ini menyasar siswa sekolah menengah untuk membekali mereka dengan wawasan seputar pernikahan, kesehatan reproduksi, dan ketahanan keluarga.
BACA JUGA:Minibus Elf Tabrak Truk Bermuatan Koral di Tol Jombang - Mojokerto, Dua Penumpang Luka Berat
BACA JUGA:Pembangunan Ruang Kuliah Bersama Universitas dr Soebandi Jember Resmi Dimulai
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, menjelaskan, program BRUS telah menjadi bagian penting dari upaya Kemenag dalam mencegah kawin anak.
“Melalui BRUS, kami menanamkan pemahaman kepada remaja tentang pentingnya kesiapan mental, emosional, dan sosial sebelum memasuki usia pernikahan. Ini langkah strategis dalam membangun keluarga yang berkualitas sejak dari hulunya,” ujar Abu Rokhmad di Jakarta, Sabtu 12 Juli 2025
Program BRUS dilakukan secara masif di berbagai sekolah dan madrasah, melibatkan narasumber dari Kantor Urusan Agama (KUA), penyuluh agama, dan mitra terkait lainnya.
Materi yang disampaikan tidak hanya seputar agama, tetapi juga mencakup pendidikan karakter, kesehatan reproduksi, serta bahaya pernikahan usia dini.
BACA JUGA:Bawa dan Edarkan 23,31 Gram Sabu, Warga Ngoro Mojokerto Ditangkap Polisi
BACA JUGA:Bor-Bor an AirHangat Kota Mojokerto Dibersihkan dan Dipasang CCTV, Setelah Viral Sebagai Sarang Gay
Abu Rokhmad menyebut, kesadaran masyarakat terhadap risiko perkawinan anak yang meningkat juga turut memperkuat dampak positif program BRUS.
Banyak pihak kini memahami bahwa kawin anak rentan menimbulkan persoalan serius, mulai dari perceraian dini, kekerasan dalam rumah tangga, hingga risiko stunting pada anak.
“Kami butuh dukungan lebih kuat dari sekolah, keluarga, tokoh agama, dan masyarakat untuk terlibat dalam mengedukasi remaja. Ini bukan hanya tugas Kemenag, tapi tanggung jawab bersama,” tegasnya.