Oleh : Cahya Suryani*
Generasi Z atau remaja yang lahir di tahun 1997 - 2000 seringkali mendapatkan label generasi yang tidak peduli dengan politik. Bahkan sebagian besar pendapat mengatakan Gen Z anti isu politik.
Labelisasi ini diberikan karena beberapa alasan, salah satunya karena pandangan bahwa Gen Z tidak perduli dengan kontestasi politik yang saat ini sedang ramai. Bahkan ada anggapan Gen Z tidak peduli figur atau siapa calon yang akan dipilihnya pada 14 Februari 2024 nanti.
Sejatinya, remaja yang masuk kategori Gen Z tidaklah sepenuhnya generasi yang anti politik. Namun, seringnya ‘vonis’ dari generasi di atasnya itulah yang kemudian seolah-olah menjadi label atau positioning mereka.
Seperti juga labelisasi tentang Generasi Strawberry dan labelisasi lainnya, sebutan inilah yang seakan memperkuat label anti politik. Ini seolah seperti ‘jebakan’ atau jadi ‘kurungan’ buat mereka.
Sebenarnya jika diperhatikan dengan lebih seksama, Generasi Z atau remaja ini hanya butuh didengarkan. Mereka hanya butuh waktu untuk berbicara, untuk didengarkan mengenai pandangan hidup atau pandangan politiknya.
Gen Z butuh didengarkan, karena selama ini, ketika berbicara tentang pandangan hidup atau pandangan politik, seringkali ditanggapi ‘’Ah tau apa siy anak kemarin sore’’. Tanggapan seperti inilah yang menjadikan dasar sebagian Gen Z ‘seolah’ tidak peduli dengan isu politik atau isu lainnya.
Saat ini, di Indonesia jumlah Generasi Z sebanyak 74,93 juta jiwa. Coba kita bayangkan jika semua generasi itu mempunyai mentalitas acuh terhadap isu politik. Betapa bermasalahnya ‘oknum-oknum’ yang memberikan labelisasi pada mereka.
Tapi yang perlu diingat juga, besarnya jumlah Generasi Z ini jangan dimanfaatkan hanya untuk menjadi alat peraup suara dalam pemilu. Semua pihak harus turut menggandeng dan mendengarkan pendapat mereka.
Karena, terkadang, pendapat Generasi Z justru bisa jadi akan memberikan perubahan dalam kehidupan, bahkan dalam dunia politik kita.
Beberapa waktu belakangan ini, ada pasangan calon presiden dan wakil presiden mencoba menggaet Generasi Z ini dengan menggunakan platform media sosial. Dengan dengan menggunakan model siaran langsung, bisa dilihat jumlah yang mengikuti mencapai puluhan ribu.
Komentar yang diberikan pun beragam. Mulai dari jargon sampai raut wajah sosok yang siaran langsung. Bahkan ada juga memberikan saran untuk membuka donasi untuk tambahan kampanye, dan komentar ringan lainnya.
Hal ini menunjukkan Generasi Z sebenarnya perhatian dengan isu politik tapi dengan pendapat atau komentar yang ringan. Hal itu tentu saja sesuai dengan kebiasaan yang mereka lakukan di media sosialnya.
Karena itu, stop labelisasi. Karena tantangan setiap generasi pasti berbeda, sesuai dengan perkembangan jamannya. Berikan ruang untuk mereka berbicara.
Satu kesimpulan yang harus kita pahami bersama, Generasi Z mempunyai media dan cara penyampaian yang berbeda.
Sehingga, untuk memahaminya, generasi di atas mereka perlu ‘turun gunung’. Mendekat pada ruang-ruang tempat mereka berinteraksi. (*)