E-Voting : Solusi untuk Hindari Carut-Marut Pemilu di Indonesia

Selasa 13-02-2024,15:00 WIB
Editor : Andung

 

Oleh:  Fahlulia Rahma Shofiana *)

 

SEJAK pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 hingga 2024, sistem pemilihan umum di Indonesia relatif tidak berubah. Masyarakat yang memenuhi kriteria untuk memberikan suaranya dalam pemilu datang ke tempat pemungutan suara, dan mencoblos surat suara dengan pilihan presiden yang mereka kehendaki. 

 

Pemilihan umum dengan sistem ini memang berlangsung dengan baik. Sesuai asas Luber-Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil) di awal hingga pertengahan selama 7 dekade kemerdekaan Indonesia. 

 

Namun, banyak kasus kecurangan yang terjadi dalam 15 tahun terakhir (3 kali pemilihan umum). Termasuk terkait distribusi logistik pemilu, data pemilih, kapasitas dan beban kerja petugas pelaksana pemilu yang terlalu tinggi.

 

Hingga data hasil penghitungan suara memberikan banyak PR (baca: pekerjaan rumah) bagi penyelenggara pemilihan umum yakni KPU (Komisi Pemilihan Umum). Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), juga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) masih banyak melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu ke depB (Ardipandanto, 2019). 

 

Salah satu yang dapat ditawarkan adalah transformasi sistem tradisional ke sistem e-voting. Sistem ini  dapat memberikan aksesibilitas, efisiensi, dan transparansi dalam pelaksanaan pemilihan.

 

Di zaman yang serba digital ini, beberapa negara seperti Estonia, Amerika, dan Rusia telah merubah sistem pemilihan umum dengan e-voting. Bahkan Filipina dan India -sebagai salahnegara berkembang- juga telah menerapkan sistem e-voting sejak tahun 1982. 

 

E-voting adalah sebuah sistem berbasis perangkat elektronik yang digunakan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dari proses membuat surat suara hingga perhitungan suara. Sistem ini dapat memangkas proses panjang dan anggaran raksasa yang dibutuhkan. 

 

Dikutip dari website sekretariat kabinet RI, anggaran untuk pemilu pada tahun 2019 naik 61% dari Rp15,62 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp25,59 triliun di tahun 2019. Pada tahun 2024 anggaran yang disetujui oleh Kementerian Keuangan mencapai Rp28 triliun. 

 

Dengan sistem e-voting, anggaran raksasa yang muncul sebab pengadaan berbagai atribut seperti kertas suara, kotak suara, tinta dan lain-lain ini dapat dialihkan untuk mesin suara elektronik. Bisa untuk membuat atau menciptakan web-server dengan sistem keamanan tinggi untuk pelaksanaan pemilu.

 

Selain lebih efisien dan efektif, penggunaan e-voting juga lebih ramah lingkungan. Karena  tidak perlu menebang dan mengorbankan ratusan ribu pohon untuk menyediakan jutaan lembar kertas suara untuk pelaksanaan pemilu yang berujung menjadi sampah. Tak hanya itu, pengadaan atribut pemilu sangat rawan dijadikan sebagai ladang politik kepentingan dan keuntungan seperti korupsi dan kolusi. 

 

Dari catatan yang dirilis oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada November 2022, terjadi  44 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa oleh anggota KPU/KPUD di rentang 2014-2022.

Di sisi lain, pemilu dengan sistem e-voting hanya akan melibatkan sedikit  stakeholder.  Sehingga anggaran untuk diklat, gaji, dan kebutuhan akomodasi serta transportasi petugas pemungutan suara dan pihak-pihak terkait dapat dipangkas. 

 

Birokrasi panjang dan rumit yang membuang waktu dan uang dapat dihindari. Tak hanya itu, rekapitulasi suara dapat terpublikasi dengan cepat  (realtime)  dan tidak mudah diintervensi. 

 

Hasil pemilihan umum dapat segera diketahui beberapa jam setelah waktu pemungutan suara berakhir. Kasus kelelahan, dan carut-marut perhitungan suara, perbedaan hasil perhitungan suara antar lembaga survei dapat diminimalisir.

 

 Pelaku kecurangan juga kesulitan mendapatkan akses untuk mengotak-atik hasil perhitungan suara. Beberapa kasus pra-pemilu seperti tercoblosnya surat suara, tergulingnya truk pengangkut surat suara, kelalaian pengiriman surat suara di luar penjadwalan keluar negeri dan lain-lain dapat diminimalisir bahkan ditiadakan.

 

Terlepas dari keunggulannya, penerapan sistem e-voting membutuhkan infrastruktur dan sumber daya yang kompeten dan mampu untuk mengadopsi sistem ini. Karena dalam tingkatan tertentu, sistem ini mungkin saja menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan beresiko dicederai atau memicu terjadi kebocoran data. 

 

Namun pemilu dengan sistem e-voting dapat dikaji lebih lanjut dan menjadi pertimbangan kedepan sejalan dengan transformasi KTP ke IKD (Identitas Kependudukan Digital). Sehingga e-voting menjadi solusi dengan pemanfaatan teknologi yang dapat direalisasikan.

 

Tentunya dengan memenuhi prinsip dan asas-asas pemilu yang berlaku, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.  (*)

 

*) Penulis adalah akademisi, menempuh S2 di Unesa

Kategori :