Mojokerto, Disway.id - Mojokerto sarat dengan situs peninggalan masa kerajaan Majapahit. Salah satunya situs cagar budaya Reco Lanang. Sebuah patung Budha terbuat dari batu, berlokasi di Dusun Kemlaka, Desa Trawas, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
Lokasinya sekitar 40 kilometer dari kota Mojokerto. Untuk melihatnya lebih dekat, pengunjung harus berjalan kaki melewati tumbuhan pakis yang menghiasi sepanjang jalan.
Nama Reco Lanang diberikan kepada patung batu ini karena bentuk Budha yang diibaratkan sebuah arca laki-laki. Arca ini memiliki kemiripan dengan arca Budha terdapat di kompleks Candi Borobudur, Jawa Tengah. Tinggi arca ini mencapai sekitar 5,7 meter.
BACA JUGA: Candi Kesiman Tengah, Situs Peninggalan Majapahit Berdiri Kokoh di Lahan Persawahan
Arca ini merupakan sebuah gambaran dari wujud salah satu Dhyani Budha yang dinamakan Akshobhya. Akshobhya merupakan penguasa arah mata angin sebelah timur menurut agama Budha.
Sejarah penemuan Reco Lanang ini sangat panjang. Arca ini diketahui ditemukan Dr Verbeek dari Belanda yang waktu itu dari Pesangrahan Trawas mendaki naik ke Gunung Boeta, kemudian tiba ke Distrik Djaboeng tepatnya di Desa Kemlaka – Gede.
Saat melakukakan pendakian, ditengah –tengah hutan pada suatu tempat yang tiada semak belukar lagi, terdapat sebuah raksasa tertidur dalam tanah yang oleh masyarakat dengan sederhana menyebut Reco Lanang atau Buddha Akshobhnya.
Suwignyo salah satu pensiunan juru pelihara situs cagar budaya Reco Lanang yang dikelolah Balai Pelestarian Kebudayaaan (BPK) wilayah XI Jawa Timur menceritakan, pada waktu ditemukan Dr Verbeek posisi arca dalam kondisi terletang dipunggung.
Keseluruannya masih belum selesai dikerjakan, kecuali pada wajahnya dalam garis besar memberi kesan sudah selesai. Kondisi Arca Lanang waktu ditemukan sangat berlumut, namun Dr Verbeek memberi kesan agung terhadap Arca tersebut.
“Patung tersebut terkesan duduk dengan telapak tangan kiri terbuka menghadap ke atas dipangkuan dan telapak kanan menempel dilutut kanan, jadi Mudra Bhumisparca,” terang Suwignyo.
Kepala patung itu tidak lagi menyentuh tanah, melainkan terangkat sedikit. Dr Verbeek saat mengukur patung itu dengan teliti mencatat bahwa tinggi patung dari ujung kepala sampai permukaan tanah adalah 1.75 m. Dari ukuran ini, bisa dibayangkan betapa kolosalnya keseluruhan patung tersebut.
Bahkan Dr Verbeek meneyebutnya Arca Lanang ini sebagai arca terbesar di Jawa. Pengukuran dilakukan Dr Verbeek dari kepala sampai pada lekukan kaki adalah 5 – 4 meter, lebar lulut dari ke lutut 3 meter, lebar dada 2,58 meter, panjang wajah (tanpa hiasan kepala) 1 meter dan jarak diantara mata 0,48 meter.
“Setelah Dr Verbeek datang, kemudian Dr Van Hoevel berkunjung melihat keberadaan Reco Lanang pada tahun 1849 saat dia pertama kali mengunjungi Gunung Boetak. Menurut catatan Dr Van Hoevel, Reco itu dianggap belum selesai karena bisa dilihat dari tangan kanannya yang semestinya diletakkan di lutut kanan, tetapi masih terlihat seperti bongkahan batu belum berbentuk sempurna,” urainya.
Patung budha yang terbaring di tengah semak - semak di Gunung Boetak juga dikunjungi oleh Dr Brumund pada tahun 1854. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa patung itu berada di belakang Trawas. Keberadaan Reco Lanang sudah berusia puluhan tahun itu masih terpelihara dan terjaga dengan baik hingga saat ini.
Menurutnya, keberadaan Reco Lanang untuk saat ini kurang diminati pengunjung, ia mengatakan Modernisasi dan perubahan budaya dari zaman ke zaman membuat polah pikir juga akan terus mengalami perubahan, hal ini bisa diketahui dalam sepinya pengunjung ke sini juga di pengaruhi faktor tersebut.
“Zaman sekarang sudah maju dengan teknologi internet yang memudahkan akses informasi. Namun, anak muda sekarang jarang tertarik dengan lokasi cagar budaya seperti Reco Lanang. Padahal, patung budha ini memiliki nilai sejarah sangat tinggi. Saya sudah pensiun dari tugas saya sejak tahun 2021, tapi saya berharap orang-orang tidak melupakan sejarah (Jas Merah),” katanya.
Tambahan informasi, selain dijadikan objek wisata cagar budaya, Reco Lanang juga dijadikan tempat ibadah bagi agama budha, hal ini bisa dijumpai saat ada hari – hari besar keagamaan umat budha.