Mengenal El Nino yang Bikin Gerah
ilustrasi: kekeringan.-foto/pinterest-
MOJOKERTO, mojokerto.disway.id - Fenomena El Nino sudah berlangsung sejak Juli 2023 lalu. Di Indonesia puncak dampak El Nino yang panas dan kering pada Agustus-September lalu. Meskipun puncaknya telah lewat. Menurut BMKG, fenomena El Nino diprediksi akan berakhir pada Desember 2023.
Dikutip dari laman BMKG, fenomena El Nino memang bukan badai, yang berlangsung hanya beberapa hari, namun El Nino atau El Nino-Southern Oscillation (ENSO), didefinisikan sebagai anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.
Dampak El Nino termasuk badai yang lebih kuat, banjir, kekeringan, dan perubahan pola cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Fenomena ini sering terjadi setiap beberapa tahun sekali dan dapat berlangsung selama beberapa bulan.
Baca Juga: Pemkab Mojokerto Bakal Perpanjang Status Tanggap Darurat Kekeringan dan Karhutla
Istilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang artinya 'anak laki-laki'. El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang natal.
Fenomena El Nino di Indonesia sudah pernah terjadi beberapa kali sepanjang tahun 2000-an, BMKG mencatat fenomena El Nino terjadi di Indonesia pada tahun 2015 dengan intensitas kuat dan pada tahun 2019 dengan intensitas lemah.
Pada tahun ini, menurut analisis BMKG, fenomena El Nino telah mengakibatkan kemarau di 63 persen wilayah Indonesia, termasuk Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. "Diperkirakan musim kemarau ini akan lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya," kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A Fachri Radjab, sebagaiman dikutip dari laman BMKG.
Fenemona yang muncul berabad-abad lalu ini dinamai para nelayan Peru sebagai El Nino de Navidad yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir. Menghangatnya perairan di wilayah Amerika Selatan ini ternyata berkaitan dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudera Pasifik bagian timur, bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.
Iklim di Samudera Pasifik dapat bervariasi dalam tiga kondisi (fase):
Fase Netral: angin pasat berhembus dari timur ke arah barat melintasi Samudra Pasifik menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat dan disebut dengan Sirkulasi Walker. Selama fase Netral, suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.
Fase El Nino: angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
Fase La Nina: hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
Dalam istilah ilmu iklim saat ini, El Nino menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari normalnya, sementara anomali suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari normalnya.
Pada saat terjadi El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah. Akibatnya curah hujan di Indonesia berkurang. (*)
Sumber: