Suatu Sore di GOR 10 November Bersama Pak Dahlan, Suluh Semangat dan Inspiratif

Hasil wawancara dengan pak Dahlan Iskan yang diterbitkan menjadi buku. Kutipannya mengingatkan semua orang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dbuatnya-Foto : Elsa Fifajanti-
Mojokerto, diswaymojoketo.id – Peristiwa itu sekitar tahun 2002 atau 2003 saya agak lupa, namun sebagai penanda, saya ingat betul saat itu Pak Dahlan (demikian saya menyebut Dahlan iskan) tengah memimpin kesebelasan tenar asal Surabaya, Persebaya.
Bermula dari penugasan kepala Biro Harian Republika di Jatim, Anis Fatoni, saya mendapat tugas yang cukup sulit saat itu : wawancara Dahlan Iskan untuk dimuat di koran Republika edisi satu halaman yang diterbitkan tiap hari Minggu.
‘’Tolong kamu wawancara Dahlan Iskan, ini tugas dari kantor Jakarta,’’ kata Anis Fatoni, yang kini sudah almarhum.
Bagi saya yang saat itu masih menjadi wartawan Biro Republika Jatim di Surabaya, tugas ini tentu lumayan berat. Apalagi saat di lapangan ketika bertemu sesama teman wartawan, nama besar Dahlan Iskan seringkali disebut sebagai ‘Suhu’nya wartawan cukup sulit ditemui.
Buku Wong Jawa Timur Berpengaruh yang diterbitkan Republika Jatim di dalamnya ada tulisan hasil wawancara dengan pak Dahlan Iskan-Foto : Elsa Fifajanti-
Maka perburuanpun saya mulai untuk bisa sekadar membuat janji atau langsung wawancara. Ternyata bukan hanya sulit menemui beliau, tetapi sangat sulit. Apalagi saat itu belum jamannya wartawan memiliki telpon seluler seperti sekarang. Dan satu lagi yang saya dapatkan, pak Dahlan jarang membawa ponsel.
Maka, berkawanlah saya dengan mbak Oemi sekretaris pak Dahlan di Graha Pena. Nomor kontak mbak Oemi saya dapatkan dari kepala biro Republika Jatim saat itu.
Mbak Oemi mengatakan, untuk bertemu pak Dahlan sebenarnya sangat mudah. ‘’Temui beliau di Graha Pena atau di percetakan Jawa Pos saat kerja keredaksian usai,’’ ungkap Mbak Oemi. Lantas saya bertanya kira-kira jam berapa pak Dahlan ada di Graha Pena atau percetakan yang longgar? Mbak Oemi dengan serius menjawab ‘’Ya kira-kira jam satu malamlah’’. Mendengar jawaban itu saya hanya berujar ‘’Hah’’.
Saya tidak memiliki banyak waktu, karena redaksi di Jakarta meminta secepat mungkin wawancara yang berupa tulisan press claar( tanpa editing) atau segera disetor. Selain itu kepala biro saya juga minta tulisan tentang sosok Dahlan Iskan akan dibukukan bersama tulisan profil lain menjadi buku : Wong Jawa Timur Berpengaruh’’.
Saya sudah hampir putus asa, karena sulit benar menemui pak Dahlan.
Pak Dahlan Iskan bersama buku-buku-Foto : Istimewa-
Hingga tibalah suatu sore saya lupa harinya, ketika saya tengah menuli berita di kantor Republika Jatim, fotografer kami yang Bernama Sigit Pamungkas masuk sambil nafasnya terengah-engah, dia bilang, ‘’Mbak ayo cepetan tak bonceng nang Gelora 10 November, ono pak Dahlan cepatan jarene sampayean kate wawancara, Pak Dahlan ndelok arek-arek Persebaya Latihan,’’ kata Sigit terengah-engah.
(Mbak ayo saya bonceng ke Gelora 10 November Tambaksari, cepat, anda kan mau wawancara dengan pak Dahlan, beliau ada di sana sedang melihat Persebaya Latihan)
Maka secepat kilat saya bilang,’’ ayo budal,’’ tanpa mematikan computer PC di kantor.
Singkat kisah saya bertemu dengan pak Dahlan yang berminggu-minggu saya sebut namanya hingga hingga terbawa mimpi.
Bertemu pak Dahlan ternyata mengasyikan. Setelah memperkenalkan diri, ‘’ Saya Elsa dari Republika Jatim mendapat tugas untuk wawancara, bapak’’. Maka berlangsunglah wawancara di GOR 10 November tambaksari di suatu sore yang cerah.
Saya yakin sangat yakin, pak Dahlan Iskan pasti lupa momen saya mewawancarainya. Namun bagi saya sepanjang hidup sangat mengingatnya. Dari wawancara itu, saya jadi tahu bahwa seorang Dahlan Iskan tidak pernah tahu pasti tanggal lahirnya.
Pak Dahlan, suluh semangat-Foto : Istimewa-
‘’Tanggal lahir saya ditulis ibu saya di balik lemari. Karena kami sangat butuh uang, lemarinya dijual, dan tanggal lahir saya ikut terbawa pembeli lemari itu,’’ kisah pak Dahlan kepada saya saat itu. Kepada saya, pak Dahlan menceritakan ayahnya Bernama Mohammad Iskan dan ibunya Siti Khalisnah.
Wawancara berjalan sangat gayeng, hingga saya harus minta maaf karena saya ganggu, pak Dahlan tidak bisaa menyimak dengan serius latihan Persebaya yang sedang berlangsung saat itu.
Satu bagian wawancara dengan pak Dahlan yang saya ingat, dan dibuat kutipan di buku Wong Jawa Timur Berpengaruh yang diterbitkan Republika Jatim adalah seperti ini ; ‘’ Saya memang tidak pernah berbuat salah? Ribuan kali, bahkan jutaan kali saya berbuat salah. Tapi saya selalu bertanggung jawab terhadap kesalahan itu’’.
Sejujurnya, saya bisa mengorek berbagai informasi seputar pribadi pak Dahlan saat itu, dan tiba-tiba saya menjadi sangat mengidolakannya. Tulisan hasil wawancara saya itu telah dimuat di edisi Mingguan Republika pusat, artinya Republika terbitan nasional dan juga diterbitkan dalam buku 100 Wong Jatim Berpengaruh. Saya bangga? Tentu saja.
Berhubungan dengan sosok pak Dahlan saya pikir selesai di sana, ketika tugas saya sebagai jurnalistik muda bisa saya selesaikan dengan baik. Siapa sangka bertahun kemudian pak Dahlan menelepon saya. Ini kisahnya:
Tragedi Kanjuruhan berawal dari sana. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di stasdion Kanjuruhan Malang. Usai Arema lawan Persebaya, yang berakhir dengan kekalahan tim tuan rumah. Singkatnya dari data resmi yang dilansir media massa menyebutkan 135 orang meninggal dunia akibat tragedi tersebut dan 583 lainnya menderita luka berat dan luka ringan.
Karena tragedi tersebut, entah darimana, pak Dahlan membaca sebuah puisi yang berjudul ‘’Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu’’. Puisi yang sangat menyentuh itu berkisah tentang seorang ibu yang menunggu kepulangan anaknya dari nonton bola tetapi sang anak tak pernah pulang ke rumah, tetapi pulang dalam arti pulang yang sesungguhnya ke akherat akibat tragedi Kanjuruhan tersebut.
Puisi tersebut diposting di Instagram dengan 1.550 lebih yang memberi like dan ditulis oleh Lintang Budiyanti Prameswari.
Tampaknya pak Dahlan terkesan dengan puisi tersebut dan ingin mewawancarai penulisnya.Maka pagi-pagi di grup WA wartawan senior se Jatim pak Dahlan meminta informasi tentang penulis itu. Saya yang berada dalam satu grup WA dengan Pak Dahlan agak terlambat membaca info tersebut, beberapa jam setelahnya saya baru merespon dan saya japri pak Dahlan. ‘’Pak, penulis puisi tersebut adalah anak saya Lintang Budiyanti Prameswari’’.
Puisi Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu yang diposting di IG Lintang Budiyanti Prameswari-Foto : Elsa Fifajanti-
Sesaat kemudian pak Dahlan menghubungi nomor saya, bertanya-tanya seputar Lintang, lalu pak Dahlan saya kirimi nomor ponsel Lintang. Beberapa detik berikutnya pak Dahlan menghubungi Lintang anak saya mewawancarainya.
Hingga kini nomor ponsel pak Dahlan yang dipakai wawancara Lintang, discreen shot dan disimpan rapat-rapat di ponsel Lintang. Katanya : bukti kalau pernah diwawancara orang Top sekelas Dahlan Iskan.
Dalam hati saya berkata : saya pernah memburu pak Dahlan untuk saya wawancarai dan sekarang giliran anak saya diwawancarai pak Dahlan.
Esoknya, kisah tentang Lintang anak saya yang menulis puisi menyentuh itu ditulis dengan menarik di catatan Dahlan Iskan Harian Disway.
Anak saya berkisah pada saya, ‘’Aku ditanya pak Dahlan, lulusan Universitas Swasta terbaik di Indonesia kok jadi honorer di Pemkot Mojokerto’’.
Karena itulah anak saya terlecut mencari tempat kerja yang sesuai passionnya : menulis. Kini dia bekerja di LKBN Antara, menyisihkan 19 ribu pelamar se Indonesia dan diterima bersama 12 jurnalis lainnya di LKBN Antara penempatan Jakarta.
Tampaknya lecutan pak Dahlan cukup membekas pada Lintang, passionnya menulis dan tidak pas bekerja sebagai honorer di Pemerintah Kota Mojokerto. Dan kini, sudah beberapa kali Lintang mendapat penghargaan sebagai jurnalis terbaik LKBN Antara.
(Penulis Editor di Diswaymojokerto *)
Sumber: