Deni Indianto, Seniman Patung Mojokerto Tetap Eksis Selama 20 Tahun
Deni Indianto saat menunjukkan hasil karyanya. (Foto : Fio Atmaja)-Fio Atmaja-
Mojokerto, mojokerto.disway.id - Deni Indianto (44) seniman patung asal Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Trowulan, Kabupaten Mojokerto, masih eksis menjadi pemahat patung selama 20 tahun.
Pemilik galeri Majapahit Art Stone tersebut ternyata sudah menekuni seni pahat sejak 2000 tahun silam, ia mengasah keterampilannya dari tetangganya, Wakidi kini sudah almarhum.
Kemudian pada tahun 2003, ia membuka usaha kerajinan patung batu andesit sendiri di rumahnya. Bisnis kerajinannya ini telah berjalan kurang lebih selama 20 tahun.
Meskipun terjangan produk industri kian pesat, tak surutkan semangatnya untuk membuat patung dari bahan batu dan terus menjaga kualitas karena menjadi kunci dalam menjaga pasar. Hasilnya omzet bisa capai puluhan juta rupiah.
Sudah puluhan tahun seniman di dusun ini membuat patung dengan menjaga kualitasnya. Ditunjang juga patung yang dihasilkan merupakan produk seniman, maka segmen pemasarannya juga menyasar pecinta seni.
"Dusun Jatisumber dari dahulu, dikenal sebagai sentra kerajinan patung batu andesit. Dengan sebaran pemasaran yang sampai mancanegara. Ini membuktikan kualitas produk seniman patung berkualitas dunia," ucap Deni kepada Disway Mojokerto, (20/11/2023).
Setiap bulan ia bisa meraup omzet Rp 50-70 juta. Keuntungan bersihnya juga tak menentu. Terkadang Rp 5 juta, Rp 15 juta, Rp 20 juta, Rp 30 juta, atau bahkan lebih dari itu.
"Pada saat terjadi krisis moneter 1998 dulu malah panen pesanan bisnis ini, karena banyak turis belanja patung batu karena dolar mahal. Fenomena itu akhirnya membuat saya tertarik ikut belajar, terlebih saya suka budaya,” katanya.
Seiring berkembangnya industri khususnya modernisasi membuat banyak pamahat harus menyesuaikan dengan kebutuhan mangsa pasar. Salah satunya industri patung berbahan cor semen mulai banyak tumbuh di Desa Watesumpak.
Perbedaannya patung produk industri menyasar pasar lokal maupun untuk diekspor mengandalkan kecepatan produksi dan harga miring. Sedangkan patung produksi seniman, lebih memperdalam seni dan kualitasnya.
Baca Juga: Tampilkan Karya Lukis, Seniman Mojokerto Raya turut Ramaikan Pekan Budaya Majapahit 2023
“Kalau saya mempertahankan produk seni, semua patung ada pakemnya. Kalau tidak dipertahankan akan musnah. Kedua, mayoritas orang jualan produk industri sehingga seni kosong. Maka saya ambil pasar produk seni,” terangnya.
Sebelumnya patung - patung buatan Majapahit Art Stone dikirim ke hampir seluruh wilayah Indonesia sampai mancanegara, seperti negara-negara ASEAN, India, Eropa dan Amerika Serikat. Namun, belakangan ini kerajinannya itu laku di Indonesia saja
"Kalau sekarang banyak di lokal karena saya masih mempertahankan seni pahat tradisional, beda dengan ekspor yang permintaan harus satu container yang mau tak mau untuk memangkas waktu harus dengan teknik cor bukan pahat. Jika di pahat akan membutuhkan waktu cukup lama," bebernya.
Secara pandangan seni, produk Majapahit Art Stone bisa 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan patung produk industri karena memiliki daya jual seni begitu tinggi. Ia biasanya banyak menerima orderan dari berbagai daerah di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali hingga Makassar.
"Biasanya patu - patung saya buat banyak di pasang di tpat ibadah, seperti klenteng, dan vihara. Bukan hanya itu terkadang juga buat dekorasi rumah pribadi maupun vila. Dalam pemasaran juga saya memaksimalkan adanya medsos," jelasnya.
Zaman sudah berubah, peminat pekerjaan keras seperti membuat patung jarang diminati anak muda. Karena itu pihaknya juga kekurangan pemahat dengan semakin tingginya permintaan.
"Pemahat banyak sudah meninggal, regenerasi terhambat seingga kini kami dibantu 4 pemahat untuk mengerjakan semua pesanan patung batu," ungkapnya.
Terkait bahan dasar patung, ia datangkan batu andesit dari Kediri. Setiap patung dipahat dari batu andesit utuh, tanpa sambungan.
Deni juga membagi tugas pemahat sesuai tahapan, hal iti dilakukan untuk menghasilkan karya seni tinggi. Mulai dari tukang belah batu, tahap bakal atau membuat bentuk kasar patung, tahap membentuk anatomi, tahap ukiran ragam hias, sampai finishing yang mencakup perbaikan kekurangan, penghalusan dan pengecatan.
“Finishing biasanya saya kerjakan sendiri. Warna cat sesuai permintaan. Ada yang minta hanya dilapisi antilumut, ada juga diberi warna antikan,” tambahnya.
Beberapa patung dibuat Deni di Majapahit Art Stone bisa sangat beragam antara waktu pengerjaan dan harganya.
Sebagai contoh, patung Bunda Maria setinggi 170 cm yang ia kerjakan dalam 2 bulan terakhir, saat ini pada tahap pengecatan. Ada pula patung Dewi Parwati setinggi 170 cm yang paling cepat tuntas dalam 2 bulan.
Bahkan, pesanan sebuah patung besar sosok Ratu Majapahit, Tribuwana Tunggadewi sampai 3 tahun belum selesai ia kerjakan. Patung batu andesit setinggi 320 cm dengan lebar 120 cm itu rupanya pesanan temannya di Jakarta.
“Proses pembuatan patung paling sulit itu dari Ratu Singosari (Ken Dedes atau Prajna Paramita) yang wajahnya harus menampilkan figur sosok bijaksana, tegas, dan anggun. Anatomi produk tersebut tidak bisa ditemukan di produk cor atau industri karena membutuhkan keuletan dan simetris saat membuat," tandasnya.
Majapahit Art Stone membandrol karya pahatnya dengan beragam ukuran, tingkat kerumitan, kehalusan dan lamanya proses pembuatan. Seperti halnya, replika lingga dan yoni perwujudan Dewa Siwa dan Dewi Parwati dijual Rp 10 juta, patung Dewi Parwati setinggi 170 cm Rp 35 juta dan patung Ken Dedes setinggi 170 cm harganya di atas Rp 35 juta.
Bukan hanya itu ada Patung Tribuwana Tunggadewi setinggi 320 cm ini rekor paling mahal. Harganya seharusnya di atas Rp 100 juta. Namun di jual Rp 80 juta.
Sumber: