KESADARAN FORENSIK PELAKU MUTILASI LIDAH WETAN, TELAAH KASUS PEMBUANGAN MAYAT DI MOJOKERTO

Sabtu 13-09-2025,00:06 WIB
Editor : Andung

 

Sakban Rosidi *)

 

"Tidak ada kejahatan yang sempurna" (There's No Such Thing as a Perfect Crime). Begitu judul novel detektif karya Andrew Hawthorne. Pernyataan ini seolah mendapat pembenaran dari kasus pembunuhan mutilasi dan pembuangan multi-lokasi yang merajam nurani waras kita.

Betapa tidak? Tiara Angelina Saraswati (25 tahun), tak sekadar dibunuh oleh pacar sendiri, Alvi Maulana (24 tahun), tetapi bahkan dimutilasi mayatnya menjadi setidaknya 66 potongan di sebuah rumah kos mereka berdua di Lidah Wetan, Surabaya, untuk kemudian dibuang di Pacet, Mojokerto.

Tulisan sederhana di tengah arus besar tulisan-tulisan hebat ini, hanya ingin melanjutkan pertanyaan-pertanyaan investigatif-forensik yang menggoda akal sehat. Kalau sudah tak cocok, mengapa gak putus saja? Kalau sudah dibunuh, mengapa dimutilasi? Kalau sudah dimutilasi, mengapa harus dibuang di tempat dan waktu berbeda-beda?


Lokasi pembuangan korban mutilasi, jauh dari TKP-Fio Atmaja - Disway Mojokerto-

Pembunuhan Mutilasi, Pembuangan Multi-Lokasi

Penelitian kriminologi dan forensik membutikan, pembuangan mayat korban pembunuhan bukan tak bersifat rambang (random). Ada pola tertentu dan telah berusaha dikembangkan tipologinya berdasarkan niat pelaku, hubungan dengan korban, dan tindakan yang dilakukan. Kategori-kategori ini tidak selalu saling eksklusif, karena tentu saja pelaku kejahatan bisa saja mengkombinasikan satu dengan yang lain.

BACA JUGA:Pencuri di Rumah Kos Mojosari Mojokerto Gasak Motor 30 Detik, Pelaku Terekam CCTV

BACA JUGA:WCC Jombang Sebut Kasus Mutilasi yang Dibuang di Mojokerto Dalam Kategori Femisida

Sekitar tahun 2005, Robert Morton, seorang pakar di Unit Analisis Perilaku FBI telah mengembangkan tipologi pembuangan mayat korban pembunuhan. Tipologinya berguna dalam studi forensik dan kriminologi untuk memahami perilaku pelaku pembunuhan dan implikasi investigatifnya. Ada empat tipe pembuangan mayat korban pembunuhan, yaitu: pembuangan terbuka, pembuangan tersembunyi, pembuangan transisi, pembuangan instrumental, dan pembuangan simbolik (open disposal, concealed disposal, transitional disposal, instrumental disposal, symbolic disposal).

Pertama pembuangan terbuka. Mayat korban ditinggalkan begitu saja di tempat terbuka atau umum, yang mudah ditemukan, misalnya dengan meninggalkan korban di pinggir jalan atau lapangan terbuka. Jadi sedikit sekali usaya pelaku untuk menyembunyikan kejahatan. Sangat mungkin kejahatan ini terjadi karena dorongan impulsif. Jadi tidak direncanakan, seperti karena ledakan kemarahan dan kekerasan yang tiba-tiba, sehingga tidak ada sedikit waktu untuk membuat strategi pembuangan yang lebih rumit. Pelaku mungkin bertindak karena marah atau panik, sehingga mengakibatkan pembuangan yang tergesa-gesa dan sama sekali tidak canggih. Lazimnya, pelaku tidak punya hubungan khusus dengan korban. Pelaku tidak begitu khawatir terdeteksi oleh orang lain.

Kedua, pembuangan tersembunyi. Mayat korban disembunyikan untuk menunda penemuan, misalnya dengan penguburan, penempatan di sungai, diletakkan di bangunan terbengkalai, dan sebagainya. Jelas dalam diri pelaku ada kekhawatiran bukti kejahatannya terdeteksi dan bisa saja dirinya tertangkap. Jadi, tujuan utama tindakan ini adalah menyembunyikan kejahatan dan hubungan pelaku dengan dirinya. Dengan menyembunyikan mayat korban, akan mempersulit penyelidikan polisi dan tentu saja menunda penemuan dan atau penangkapan. Dalam banyak kasus, pembuangan tersembunyi dilakukan oleh pelaku yang mengenal atau memiliki hubungan khusus dengan korban.


Lokasi TKP, tempat kos pelaku dan korban, di Lidah Wetan,Surabaya-dok Disway Mojokerto-

Ketiga, pembuangan transisi. Mayat korban ditaruh sementara di tempat tertentu, misalnya dengan menyimpan mayat di bagasi mobil atau penutup seadanya. Penyembunyian korban ini bersifat sementara, karena akan dibuang di tempat lain yang lebih aman di lain waktu. Tidak jarang, pelaku sudah tertangkap sebelum memindahkan mayat korban ke tempat lain.

BACA JUGA:Waspada Cuaca Ekstrem di Mojokerto pada 10 - 17 September 2025

Modus ini membutuhkan upaya tambahan dari pelaku, termasuk kendaraan untuk mengangkut mayat korban. Lokasi pembuangan seringkali juga sudah dikenal oleh pelaku, seperti area hutan yang sudah diketahui medannya.

Modus ini bertujuan menciptakan jarak fisik dan psikologis antara kejahatan dan penemuannya sehingga mengurangi kemungkinan teridentifikasi ketika terjadi penemuan korban. Tidak jarang, pemindahan tidak bisa dilakukan secara tuntas, sehingga harus disembunyikan di tempat atau lokasi darurat.

Keempat, pembuangan instrumental. Mayat korban malah digunakan untuk mencapai tujuan lain selain membunuh, misalnya memindahkan dan menyebar bagian-bagian tubuh untuk menyesatkan penyidik. Sangat jelas bahwa modus ini bukan akibat dorongan impulsif, tetapi tindakan sadar, bertujuan dan direncanakan.


Petugas forensik memeriksa potongan tubuh korban mutilasi-dok Disway Mojokerto-

Sangat mungkin, agresi sekaligus modus pelaku bersifat instrumental. Artinya, tindakan itu menjadi instrumen atau sarana untuk mencapai motif atau tujuan sebenarnya, misalnya penguasaan harta benda korban. Menghilangkan semua korban, saksi-saksi, barang bukti dan jejak kejahatannya adalah motivasi utama dalam tipe pembuangan instrumental.

BACA JUGA:Pimpinan DPRD Kota Mojokerto Coffee Morning dengan Insan Pers, Apresiasi Peran Media di Mojokerto

BACA JUGA:Tim Forensik Terima 310 Potongan Tubuh Korban Mutilasi Pacet Mojokerto

Mutliasi, pembakaran, penghacuran secara kimiawi, adalah bagian dari modus pembuangan instrumental.  Terakhir, pembuangan simbolis. Modus pembuangan ini bersifat ekspresif bagi pelaku kejahatan, yang bahkan bisa menyerupai ritual yang fungsional secara psikologis, walaupun tak senantiasa sebagai pesan bagi orang lain, tetapi jelas memiliki makna personal bagi pelaku.

Bisa saja tubuh korban diletakkan di tempat tertentu, dalam postur tertentu, dan telah disiapkan suasana tertentu,  dan bahkan dilengkapi benda-benda asesoris tertentu. Selanjutnya pelaku berpose merasa bersalah atau bertingkah mesra dengan mayat korban untuk "membatalkan" perbuatannya.

Tidak jarang, pelaku yang merasa sebagai korban dominasi korban ketika masih hidup, akan melampiaskan dan mengungkapkan kuasa dan kendalinya terhadap korban. Semua yang dilakukan oleh pelaku bermakna simbolis untuk memuaskan kebutuhan emosional, dan sama sekali tidak tertujuan  praktis, misalnya menghindari deteksi dan investigasi.

Berdasarkan tipologi pembuangan mayat korban, tampak jelas kalau kasus pembunuhan dengan mutilasi dan pembuangan korban multi-lokasi ini termasuk dalam tipe kombinasi antara pembuangan tersembunyi, pembuangan transisi, dan pembuagan instrumental. Ini dapat dikenali dari fakta bahwa potongan mayat korban sempat disembunyikan di rumah kosong dekat kos pelaku, bahwa potongan mayat korban dipindah ke Pacet, lokasi sepi yang jauh dari TKP-nya di Lidah Wetan, Surabaya, bahwa mutilasi mayat korban menjadi ratusan potongan telah menjadi instrumen bagi pelaku untuk menyulitkan identifikasi cepat oleh kepolisian.

BACA JUGA:Kembali Hits, Ini Rekomendasi Photobox Kekinian di Mojokerto

Ilmu Forensik versus Kesadaran Forensik

Analisis tipologis pembuangan mayat korban dalam kasus ini semakin menegaskan bahwa tindakan pelaku jauh dari kategori tindakan impulsif, tetapi memenuhi kriteria sebagai tindakan tindakan sadar, bertujuan, direncanakan, sekaligus instrumental. Semua itu, meminjam konsep kesadaran forensik yang diperkenalkan oleh Davies pada awal 1990-an, menegaskan adanya derajat kesadaran forensik cukup tinggi dalam diri pelaku mutilasi. Dengan berbagai cara, pelaku berusaha menyembunyikan, mengaburkan, dan menghilangkan jejak kejahatannya.

Sejak diperkenalkan, konsep kesadaran forensik telah berkembang menjadi tema sentral dalam psikologi investigasi, kriminologi, dan analisis keterkaitan kejahatan. Semula, Davies memperkenalkan kesadaran forensik dalam modus operandi pemerkosa. Ia menggambarkan kesadaran forensik sebagai strategi perilaku sadar yang dirancang untuk menghindari deteksi, penangkapan dan penuntutan.

Beberapa contoh dia sebutkan, antara lain mengenakan sarung tangan, masker, atau kondom; menyeka permukaan; memaksa korban untuk mandi; dan memilih lokasi yang meminimalkan penemuan. Davies berpendapat bahwa kesadaran forensik dapat mengaburkan konsistensi perilaku, sehingga mempersulit keterkaitan kejahatan dengan pelaku yang sama.

Selanjutnya, pada awal tahun 2000-an, konsep kesadaran forensik diperluas dalam kerangka psikologi investigasi. Alison dan kawan-kawan menghubungkan kesadaran forensik dengan teori pilihan rasional, yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan mempertimbangkan risiko dan imbalan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pelaku kejahatan dengan riwayat hukuman sering kali menunjukkan kesadaran forensik yang lebih tinggi.

BACA JUGA:Bustan Allaca Trawas: “Kafe Galeri” dengan Satu Sudut Seni, Satu Sudutnya Kopi

BACA JUGA:Kadisperindag Mojokerto Support Pelatihan AI yang Digelar GMM dan Disway Mojokerto

Beauregard, Proulx, Rossmo, Leclerc, dan Allaire menerapkan konsep kesadaran forensik ini pada kasus pembunuhan seksual, dengan mengidentifikasi strategi kesadaran forensik seperti pembuangan jenazah, pembersihan tempat kejadian perkara, dan pemindahan barang-barang milik korban. Kemudian, Keatley, Barsky, dan Beauregard memasukkan kesadaran forensik ke dalam analisis naskah kejahatan, yang menggambarkan bagaimana pelaku mengatur tindakan mereka sebelum, selama, dan setelah tindak pidana. Canter, Youngs, dan Ioannou menyimpulkan bahwa kesadaran forensik mencerminkan kecanggihan psikologis dan pengalaman sistem peradilan sebelumnya.

Kini, konsep kesadaran forensik diakui secara luas sebagai penanda pelaku kejahatan berpengalaman atau pelaku kejahatan berantai. Penerapannya telah meluas, tidak hanya pada kejahatan seksual dan pembunuhan, tetapi juga pada kejahatan digital, di mana pelaku menggunakan anonimisasi dan enkripsi untuk menghindari deteksi. Konsep ini terus membentuk psikologi investigasi dan penelitian profil pelaku kejahatan.

Kacamata forensik akan secara mudah membaca bahwa pola ini adalah modus operandi yang digunakan pelaku menghindari deteksi. Pelaku tahu bahwa meninggalkan tubuh utuh akan memudahkan polisi melacak identitas. Dengan memotong-motong tubuh korbban dan menyebarkannya di tempat yang berbeda, pelaku berharap jejaknya kejahatannya kabur, atau bahkan berharap polisi akan menyerah dan putus asa. Selain agar sulit ditemukan, pilihan lokasi pembuangan utama di Pacet, Mojokerto yang sepi juga bertujuan meminimalkan saksi saat pembuangan.

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian ini? Cara pelaku memperlakukan tubuh korban pascakejadian acapkali "berbicara lebih keras" ketimbang kata-kata. Tubuh bisa menjadi "cermin psikologis" yang memperlihatkan apakah pelaku panik, ingin bersembunyi, atau berusaha melawan ilmu dan teknologi forensik.

BACA JUGA:Film Sukma: Ketika Obsesi Kecantikan Berbalut Teror Cermin Antik

Mengamati, mengkaji dan merenungkan kasus pembunuhan mutilasi dan pembuangan multi-lokasi seperti ini, tak hanya tentang kriminalitas, dan investigasi forensik, tetapi juga juga soal sisi gelap manusia bahkan ketika berinteraksi dengan manusia lain. Celakanya, ada saja manusia yang tak tergerak menuju sisi terang, yang bahkan meningkatkan forensic awareness-nya.

Sangat jelas ada niat dan siasat untuk menyembunyikan, tetapi juga ada kepanikan dalam diri pelaku. Forensic Awareness pelaku setengah matang ini memang cukup menggegerkan khalayak, tetapi tidak cukup membuat polisi dan hukum kehilangan jejak.

Perlu diingat bahwa sejalan perkembangan ilmu dan teknologi forensik, juga muncul disfungsi latennya, yaitu peningkatan kesadaran forensik pelaku dan calon pelaku kejahatan. Walhasil, bila dan hanya bila ilmu dan teknologi forensik secara terus-menerus dimutakhirkan, maka adagium "Tidak ada kejahatan yang sempurna" tetap berlaku. Salam.

*) Penulis adalah  Pengamat Sosial, WR MIPP Universitas Islam Majapahit

Kategori :