Bagaimana jika jumlah suara tidak mencapai 50 persen dari jumlah suara yang sah? Maka sesuai asal 54 D, UU 10 tahun 2016 maka akan digelar lagi Pilkada satu tahun berikutnya. Sementara untuk mengisi kekosongan jabatan aka nada Penjabat Wali Kota.
Fenomena Kotak Kosong pasti akan ada plus minus. Jika menang atas kotak kosong, dari sisi dinasti kekuasaan pasti aman karena tidak akan ada oposisi, suara di parlemen dianggap sebagai suara ‘bolodewe’. Minusnya, sistem kontrol pemerintahan menjadi lemah. Bagaimanapun aka nada ‘’rasa’’ bahwa Wali Kota yang terpilih adalah diusung dan didukung oleh mereka sendiri. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh eksekutif dalam hal ini wali kota terpilih pasti akan ‘’diiyakan’’ oleh legislatif.
Kerugian yang lain dari sektor kemasyarakatan, dengan terjadinya fenomena melawan kotak kosong dikhawatirkan antusias masyarakat terhadap Pilkada akan berkurang karena timbul kesan persaingan politik yang tidak seperti biasanya.
Lalu kerugian yang kedua adalah bagi partai politik akan menimbulkan snowball effect dari hegeomoni berkelanjutan yang bisa memunculkan potensi lahirnya dinasti politik di daerah tersebut.
Apakah di Pilwali Kota Mojokerto akan terjadi satu paslon versus Kotak Kosong? Kita tunggu saja. (*)
Penulis adalah Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Jatim, Jurnalis, Mantan Ketua Panwaslu Kota Mojokerto 2008, 2012, 2017