‘’Waktu Itu Aku Bukan Kesurupan ’’ : Mereka yang Depresi Bawa ke Psikiater Bukan ke Dukun
Ilustrasi tekanan mental -Ilustrasi Pinterest -
Ibunya, yang biasa dia panggil mama menjadi orang yang sangat berjasa mengembalikan Prameswari ke jalur yang benar. ‘’Mama orang pertama yang curiga dengan kondisi saya yang dikatakan kesurupan itu,’’ ungkapnya.
Ibunya lantas memutuskan untuk membawa putrinya ke psikiater atau dokter spesialis kedokteran jiwa (Sp.KJ) di rumah sakit PTP Gatoel Mojokerto.
‘’Saya dibawa ke dokter jiwa, bukan psikolog loh. Di sana saya bebas bercerita, termasuk kenapa saya ingin mengakhiri hidup, setiap malam tidak bisa tidur nyenyak selama berbulan-bulan, saya kecewa, sedih, kasihan dengan mama, saya ungkapkan semua,’’ papar Prameswari.

Tulisan Prameswari yang berkisah tentang depresinya diterbitkan di Whiteborad Jurnal Open Column 2-Foto : Elsa Fifajanti-
Oleh dokter jiwa, Prameswari didiagnosa depresi klinis dan harus mengkonsumsi obat yang telah diresepkan dokter. Dari konsultasi dan pemeriksaan detail itulah, diketahui kalau Prameswari bukan kesurupan. Stigma yang telah dilekatkan padanya selama berbulan-bulan bisa dipatahkan diagnosa yang tepat oleh ahlinya.
Pada kesempatan berbeda, ibu dari Prameswari, Yanti mengisahkan saat depresi menimpa putrinya, dunia seolah runtuh. Anak yang semula ceria, aktif, cerdas dan banyak mengikuti kegiatan tiba-tiba berubah menjadi gadis pemarah dan penantang.
‘’Ia yang biasanya ceria dan banyak aktivitas tiba-tiba mudah marah, penantang, suka menyendiri dan yang paling membuat saya terpukul saat melihat anak ini menyakiti dirinya sendiri,’’ ungkapnya.
Ibu dua anak ini memutuskan membawa putrinya ke ahli yang tepat. ‘’Saya ikut bersalah membawa dia ke ‘’orang-orang pintar’ yang malah membuat anak saya semakin tertekan,’’ terangnya.
Setelah dibawa ke psikiater dan divonis depresi klinis, Prameswari wajib mengkonsumsi obat yang telah diresepkan dokter jiwa, bukan berarti masalah selesai. ‘’Setelah mengkonsumsi obat itu anak saya memang menjadi lebih tenang dan terkontrol perilakunya. Namun ia mengeluh lemas dan ngantuk setelah mengkonsumsi obat tersebut,’’ jelasnya.

Kumpulan tulisan yang diterbitkan whiteboard jurnal, di dalamnya terdapat karya Prameswari-Foto : Elsa Fifajanti-
Maka Yanti memutuskan mendampingi putrinya sebisa mungkin dalam 24 jam. Ia lantas memutuskan keluar dari pekerjaannya. Setiap hari ia ajak komunikasi putrinya dan menunjukkan bahwa ia dan ayahnya baik-baik saja. ‘’Tentang perselingkuhan ayahnya yang mungkin menjadi sebab depresi anak saya, sudah saya selesaikan. Ini scene tersendiri yang tidak perlu diungkap,’’ kata Yanti tertawa.
Dalam waktu satu bulan lebih, Yanti bisa membebaskan putrinya mengonsumsi obat-obatan dari psikiater. Putrinya sudah bersedia sekolah kembali. Menurutnya anaknya menjadi lebih terbuka. ‘’Pengalaman ini sangat pahit, harus kami bayar dengan mahal. Saya harus resign dari pekerjaan, ‘’ ungkap Yanti.
Tahun 2020, kisah depresi ini telah ditulis sendiri oleh Prameswari, berharap banyak orang akan lebih terbuka dengan masalah kesehatan mental ini. Di Januari 2020 itu, untuk pertama kalinya puisi yang berjudul "Waktu Itu Aku Bukan Kesurupan", dibukukan.
Bersama cerita-cerita tentang kegelapan saat mengidap penyakit mental oleh teman-teman lainnya. Di @whiteboardjournal open column yang kedua, kisah itu terukir abadi. Menjadi pengingat diri sendiri dan siapapun yang tengah berjuang melawan sakitnya masing-masing.
Sumber:



