ucapan idul fitri 1446 H PT Pabrik Kertas Tjiwi Ki

UU TNI : Membangkitkan Dwifungsi Orde Baru?

UU TNI : Membangkitkan Dwifungsi Orde Baru?

Dr Hisnindarsyah-dok pribadi for Disway Mojokerto-

 

Oleh : Dr Hisnindarsyah *)

 

 

 

Memiliki pemahaman yang jelas mengenai perbedaan revisi Undang-Undang TNI dengan konsep Dwifungsi ABRI sangat penting. Ini agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dan melakukan aksi demonstrasi anarkis yang didasarkan pada kesalahpahaman.

 

Revisi UU TNI bukanlah bentuk kembalinya Dwifungsi ABRI, tetapi lebih pada penyesuaian terhadap tantangan keamanan modern serta upaya memperjelas peran TNI dalam menghadapi berbagai ancaman yang berkembang. Setelah kita mencermati isi pokok-pokok revisi UU TNI, maka dapat kita dapatkan tiga poin perbedaan revisi UU TNI dengan Dwifungsi ABRI.

 

Pertama, Dwifungsi ABRI di masa lalu memberi ruang bagi militer untuk berperan dalam bidang politik dan pemerintahan. Banyak perwira aktif menduduki posisi strategis di lembaga sipil maupun eksekutif, termasuk DPR dan kepala daerah.

 

Revisi UU TNI tidak mengembalikan peran ini, melainkan hanya mengatur keterlibatan terbatas perwira aktif di beberapa lembaga tertentu. Terutama yang memiliki kaitan erat dengan sektor keamanan dan pertahanan, yaitu penambahan 4 badan/lembaga dalam revisi pasal 47.

BACA JUGA:Cegah Kriminalitas Usai Lebaran, Polres Mojokerto Kota Siaga KRYD

BACA JUGA:Inflasi di Jatim Dipicu Tarif Listrik dan Harga Emas Perhiasan

 

Kedua, revisi UU TNI bertujuan meningkatkan efektivitas TNI dalam menghadapi ancaman kontemporer, seperti kejahatan siber, ancaman non-militer. Selaiin itu juga perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri.

 

Dalam era globalisasi, ancaman terhadap keamanan nasional tidak lagi hanya bersifat konvensional. Tetapi juga mencakup aspek-aspek seperti keamanan siber, bencana alam, dan ancaman terorisme internasional, yang memerlukan keterlibatan militer dalam batas-batas tertentu.

 

Ketiga, revisi UU TNI tetap menegaskan prinsip supremasi sipil dan pengawasan demokratis terhadap militer yang berarti setiap kebijakan yang melibatkan TNI tetap berada di bawah kendali pemerintah sipil dan diawasi oleh DPR. Tidak ada perubahan yang memberikan kebebasan bagi TNI untuk kembali ke ranah politik atau ekonomi sebagaimana yang terjadi pada era Orde Baru.

 

Dalam konteks modern, negara memerlukan sistem di mana personel militer dapat ditugaskan dalam jabatan sipil yang berkaitan langsung dengan kepentingan pertahanan dan keamanan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan mendapat persetujuan Presiden.

BACA JUGA:Dua Bangkai Mobil Korban Longsor Pacet-Batu Berhasil Dievakuasi

 

Penempatan perwira aktif tetap dikendalikan oleh Presiden. Sehingga hal tersebut bukan sebagai hak politik, melainkan sebagai bagian dari kebijakan pertahanan negara.

 

Selain itu, perubahan lain dalam revisi UU TNI mencakup peningkatan usia pensiun bagi prajurit. Ini bertujuan menjaga efektivitas organisasi dan memanfaatkan pengalaman perwira yang masih bisa berkontribusi bagi negara.

 

Hal ini berbeda dengan Dwifungsi ABRI era Orde Baru. Pada masa itu, meskipun terdapat aturan mengenai usia pensiun militer, dalam praktiknya terdapat fleksibilitas dalam penempatan dan perpanjangan masa dinas, terutama bagi perwira tinggi yang dianggap memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas.

 

Implikasi dari kedua kebijakan ini berbeda secara fundamental. Dwifungsi ABRI menyebabkan militer memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah kebijakan negara, mengakibatkan pembatasan terhadap kebebasan sipil, serta mengurangi peran masyarakat dalam demokrasi.

BACA JUGA:Tingkat UHC di Kabupaten Mojokerto Capai 100 %

Sumber:

b