6 Bulan Terakhir, Angka Kekerasan Anak di Mojokerto Tembus Puluhan Kasus

Sekjen Kmnas PPA Jatim, Jaka Prima menyebutkan selama 6 b ulan terakhir kasus kekerasan anak di Mojokerto tembus puoluhan kasus-dok Jaka Prima for Disway Mojokerto-
Mojokerto, Diswaymojokerto.id – Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir kasus kekerasan terhadap anak di wilayah Mojokerto Raya mencapai puluhan kasus. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Jawa Timur mencatat sebanyak 20 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di wilayah Mojokerto Raya dalam periode Januari - Juni 2025.
Berdasarkan catataKomas PPA, dari berbagai jenis kekerasan, kasus kekerasan seksual disebut sebagai paling menonjol. ‘’Kasus kami dampingi meliputi pelecehan seksual, perundungan, kekerasan fisik, hingga pencabulan anak di bawah umur,’’ ujar Sekretaris Jenderal Komnas PA Jatim, Jaka Prima, Sabtu, 26 Juli 2025.
Disebutkan, 2 kasus besar menjadi perhatian khusus adalah dukun cabul di Kecamatan Kemlagi serta kasus pencabulan yang dilakukan ayah kandung terhadap anak gadisnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kasus pencabulan itu membuatnya mendesak agar para pelaku pencabulan yang menyasar anak di bawah umur diberi hukuman setimpal.
Secara gamblang, Komnas PA Jatim bahkan mendesak agar pelaku-pelaku cabul yang menyasar anak di bawah umur dijatuhi hukuman kebiri. ‘’Kasus seperti dukun cabul di Kemlagi yang sudah lama berlangsung dan melibatkan banyak korban, harus ditindak tegas. Komnas PA meminta penarapan hukuman kebiri terhadap pelaku pencabulan anak do bawah umur. Hal ini agar menjadi pembelajaran,’’ tegasnya.
BACA JUGA:Bupati Mojokerto Dorong City Branding Berbasis Sejarah Majapahit
Selain itu, Jaka juga menyoroti kasus penganiayaan berat oleh ayah tiri, yang melakukan tindakan keji dengan memukul dan menyulut anaknya dengan bara api rokok. ‘’3 kasus tersebut kami tangani langsung dan berikan pendampingan,’’ tambahnya.
Secara keseluruhan, tambahnya, Komnas PA Jatim mencatat sebanyak 150 kasus kekerasan terhadap anak di seluruh Jawa Timur selama tahun 2025 ini. Kasus kekerasan yang terus menjadi perhatian itu dengan berbagai bentuk kekerasan fisik maupun seksual.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak ini juga menjadi perhatian khusus Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur. Bahkan dalam Paripurna sebulan sebelumnya, mengutip laman DPRD Pemrpov Jatim, di tingkat provinsi, meski angka kekerasan dari tahun ke tahun cenderung turun, namun perlu mendapat perhatian serius.
Karena itu, Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur menggagas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pelindungan Perempuan dan Anak. Raperda tersebut disusun untuk menjawab tantangan baru dalam melindungi kelompok rentan, terutama di tengah maraknya kekerasan seksual dan kejahatan berbasis digital.
BACA JUGA:Jembatan Bubak di Desa Gondang Kabupaten Mnojokerto Mulai Dibangun Lagi, Bupati Awali Pembangunan
BACA JUGA:Angka Anak Putus Sekolah di Kabupaten Mojokerto Masih Tembus 4.508 di 2025
Hal itu disampaikan Juru bicara Komisi E, Dr H Puguh Wiji Pamungkas, MM., dalam rapat Paripurna DPRD Jatim, Senin, 23 Juni 2025. Pada kesempatan itu, dia menyebutkan, bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur semakin kompleks. Selain kekerasan fisik dan seksual, kini muncul ancaman dari ruang digital seperti cyberbullying, eksploitasi daring, hingga penyebaran konten bermuatan kekerasan.
‘’Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak lagi terbatas di dunia nyata. Dunia digital pun menjadi medan baru yang berbahaya jika tak diatur dan diantisipasi,’’ katanya.
Dia menyebutkan, berdasarkan data dari SIMFONI PPA, pada 2023 tercatat 972 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kasus kekerasan terhadap anak. Meski turun di 2024, angkanya masih tergolong tinggi.
Selain itu, praktik perkawinan anak juga masih terjadi. Tahun 2024, permohonan dispensasi kawin mencapai 8.753 kasus. Angka ini meski menurun dari tahun-tahun sebelumnya, tetap mengindikasikan perlunya kebijakan yang lebih tegas dan terpadu.
BACA JUGA:629 Guru Agama Belum Miliki Sertifikasi, Kemenag Upayakan Rampung pada 2027
Peraturan yang saat ini berlaku, yakni Perda No. 16 Tahun 2012 dan Perda No. 2 Tahun 2014, dinilai sudah tidak lagi relevan dengan tantangan zaman dan perkembangan teknologi. Karena itu, DPRD Jatim mengusulkan penggabungan keduanya menjadi satu regulasi yang lebih komprehensif.
Menurut dia, tujuan penggabungan tersebut antara lain menciptakan sistem perlindungan yang menyeluruh dan efisien. Disamping itu juga mencegah kekerasan sejak dini, bukan hanya merespons saat kejadian.
"Menyediakan layanan pemulihan korban yang terintegrasi. Memudahkan akses korban terhadap bantuan hukum, psikologis, dan sosial dan memperkuat peran orang tua, sekolah, dan masyarakat dalam pencegahan,’’ tuturnya.
Sumber: